CCS/CCUS, Jurus Andalan Industri Migas Mereduksi Karbon
Dunia tengah mengupayakan transisi energi untuk menggunakan energi yang lebih bersih di masa mendatang. Target Global Net Zero Emission pada 2050 tidak lantas mengharuskan seluruh negara meninggalkan energi fosil sepenuhnya, karena ketahanan dan keterjangkauan energi menjadi hal yang harus diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan energi kita semua.
Perusahaan minyak bumi dan gas (migas) pun turut serta dalam transisi energi, dengan cara mengupayakan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam upaya mereduksi karbon serta mulai melirik investasi pada sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Menurut International Energy Agency (IEA), teknologi penangkapan karbon tersebut dapat meminimalkan emisi CO2 global sebesar 17% pada tahun 2050. Dan, sejauh ini, CCS dan CCUS diyakini menjadi teknologi yang diandalkan untuk mengurangi CO2 di atmosfer dalam jumlah yang besar dibandingkan upaya-upaya lainnya.
Apa itu CCS dan CCUS?
CCS adalah proses menangkap CO2 dari sumber emisi, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, fasilitas pengolahan migas, pabrik-pabrik, hingga atmosfer. Setelah ditangkap, CO2 kemudian dikompres dan disuntikkan ke dalam formasi geologi di bawah tanah untuk disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Sedangkan CCUS merupakan pengembangan lebih lanjut dari CCS. Pada CCUS, CO2 yang telah ditangkap akan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti memproduksi bahan bakar sintetis, meningkatkan produksi migas, ataupun untuk kebutuhan produksi di industri lainnya.
Konsep penangkapan dan penyimpanan CO2 sebagai cara untuk mengurangi emisi CO2 di atmosfer diusulkan pertama kali pada 1977 oleh fisikawan berkebangsaan Italia, Cesaro Marchetti.
Pada industri migas sendiri, konsep penangkapan dan pemanfaatan karbon pada CCS/CCUS serupa dengan konsep pengembangan migas lanjutan untuk meningkatkan produksi minyak pada sumur-sumur tua, yang dikenal dengan metode Enhanced Oil Recovery (EOR). Metode EOR telah dilakukan di Amerika Serikat dan Kanada sejak tahun 1960-an. Sedangkan Chevron menjalankan Proyek CO2-EOR berskala besar pertama di dunia, Scurry Area Canyon Reef Operating Committee (SACROC), di lapangan minyak Scurry County, Texas sejak 26 Januari 1972. Lebih dari 175 juta ton CO2 alami secara total telah disuntikkan dalam proyek SACROC selama tahun 1972–2009.
Contoh proyek CCS/CCUS
Berdasarkan informasi Global CCS Institute, CCS merupakan teknologi yang telah digunakan dalam skala komersial selama puluhan tahun. Salah satu proyek CCS pertama di dunia ialah Proyek Sleipner di Norwegia yang sudah beroperasi sejak 1996. Proyek ini merupakan proyek penelitian ilmiah sekaligus demo komersial skala besar yang berjalan di bawah kebijakan pajak karbon Norwegia. CO2 yang telah dipisahkan, kemudian ditangkap dan disimpan di bawah laut. Proyek ini telah menyimpan lebih dari 20 juta ton CO2 sejak tahun 1996.
Ada juga Proyek Weyburn yang merupakan penelitian ilmiah multidisiplin paling lengkap di dunia tentang penyimpanan CO2 secara geologis. Selama 12 tahun sejak Oktober 2000, proyek ini berhasil menyimpan lebih dari 35 juta ton CO2. Setelah penelitian ilmiah selesai, Proyek Weyburn kini beralih menjadi proyek komersial.
Negara-negara lain pun berlomba-lomba menerapkan teknologi CCS/CCUS. Arab memulai proyek CCS mereka pada tahun 2015, disusul China pada tahun yang sama. Indonesia tidak mau ketinggalan. Setidaknya, saat ini ada 15 proyek CCS/CCUS yang sedang dipersiapkan di Indonesia.
Kritik terhadap Teknologi CCS dan CCUS
Meskipun CCS dan CCUS dianggap dapat diandalkan untuk mengurangi emisi karbon secara besar-besaran, namun teknologi ini juga menghadapi sejumlah kritik, seperti:
- Biaya yang Tinggi: Proses penangkapan, transportasi, dan penyimpanan CO2 membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga diperlukan skala ekonomi yang besar untuk menjadikan teknologi ini menarik secara komersial.
- Efisiensi Energi: Proses penangkapan CO2 membutuhkan energi tambahan yang dapat mengurangi efisiensi dari keseluruhan energi yang ada.
- Risiko Kebocoran: Ada kekhawatiran bahwa CO2 yang disimpan di bawah tanah dapat bocor kembali ke atmosfer, sehingga mengalahkan tujuan utama dari teknologi ini.
- Distraksi dari Transisi Energi: Beberapa pihak yang kontra berpendapat bahwa CCS hanya merupakan cara mengalihkan fokus dari upaya mengurangi penggunaan energi fosil yang dianggap sebagai sumber energi yang tidak bersih.
Meskipun CCS/CCUS menawarkan potensi besar untuk mengurangi emisi karbon dan memperlambat laju perubahan iklim, namun sejatinya CCS/CCUS bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi perubahan iklim secara global. Teknologi ini harus dilihat sebagai bagian dari strategi komprehensif yang ditujukan untuk mengurangi emisi CO2 dari berbagai sektor dan industri sembari memastikan keberlanjutan pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi.