RUPTL Terbaru, Gas Prioritas Penuhi Kebutuhan Listrik
TANGERANG, 15 Mei 2024 - Pemerintah menyusun peta jalan (roadmap) penggunaan gas bakal meningkat tidak hanya untuk industri tapi juga pembangkit tenaga listrik. Hal ini tertuang dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang tengah disusun bersama dengan PT PLN (Persero). Peningkatan penggunaan gas ini tidak lepas dari penemuan cadangan gas dalam beberapa tahun terakhir.
Pramudya, Koordinator Perencanaan Pembangkit Tenaga Listrik, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan kebutuhan gas akan terus meningkat untuk pembangkit listrik apalagi adanya keterlambatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau hidro."Gas akan tinggi demand sampai 2030 karena shortage. Hydro butuh waktu untuk develop," ujar Pramudya dalam Plenary Session 4 "When Will Natural Gas Become a Transition Fuel From Coal to Renewable Energy to Achieve 2060 Net Zero Emission Target" disela IPA Convex 2024 di ICE BSD, Tangerang, Rabu (15/5).
Dia menuturkan proyeksi tingginya penggunaan gas ini juga sudah dimasukkan dalam pembahasan RUPTL terbaru. Selain untuk menutup gap akibat adanya kemungkinan keterlambatan pembangkit hidro, gas juga dibutuhkan sebagai based load karena pemerintah sudah sepakat tidak ada lagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Fokus RUPTL adalah gas, karena, untuk hydro dalam 10 tahun ke depan masih menjadi tantangan besar apakah pengembangannya, dalam kurun waktu persiapan geothermal dan hydro tersebut ,maka gas bisa ambil peran sebagai bahan bakar pembangkit yang lebih bersih," ungkap Pramudya.
Rakhmad Dewanto, Direktur Gas and Fuel PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), menjelaskan dalam skenario akselerasi penambahan kapasitas pembangkit sekaligus menekan emisi , PLN akan membangun tambahan pembangkit listrik tenaga gas dengan kapasitas 20 Gigawatt (GW) atau 25% dari total penambahan pembangkit listrik. Sisanya 75% berasal dari pembangkit EBT.
Ke depan PLN bahkan akan sangat bergantung pada LNG lantaran adanya penurunan produksi gas di berbagai lapangan yang biasanya disalurkan melalui pipa. "Semua bicara bagaimana tingkatkan penggunaan gas. Kita perlu LNG gantikan gas pipa," ujar Rakhmad.
Berdasarkan data dari PLN EPI, pada 2024 pengunaan gas pipa hanya 47% , sisanya PLN menyerap LNG sebesar 53%. Persentase penggunaan LNG terus meningkat hingga 2026 sebesar 59%, bahkan pada 2030 persentase LNG mencapai 68%.
Henricus Herwin, SVP Strategy & Investment Pertamina, menjelaskan Pertamina telah menyusun tiga skenario transisi energi. Menariknya dari ketiga skenario tersebut gas memainkan peran utama. "Gas akan tetap dibutuhkan di semua skenario. Gas menjadi solusi transisi energi. Banyak proyek gas besar sedang dikerjakan dan potensi besar juga sedang dikerjakan Pertamina," jelas Henricus.
Menurut dia, tanda-tanda kekurangan gas sebenarnya mulai terlihat. Untuk itu Pertamina sangat berambisi untuk menggenjot kegiatan eksplorasi untuk temukan cadangan baru.
Mangesh Patankar, Vice President Head of Asia Gas and LNG Consulting Wood Mackenzie, menjelaskan berdasarkan kajiannya Indonesia akan mengalami kekurangan bahan bakar gas setelah 2038 dan mulai menjadi negara importir. Ini akan terjadi apabila tidak ditemukan cadangan besar lain sekelas Geng North yang baru saja ditemukan oleh ENI.
Padahal, kata dia, untuk negara di kawasan Asia Tenggara, gas merupakan bahan bakar yang lebih bersih dan terjangkau, sehingga peranannya menjadi krusial dalam pemenuhan kebutuhan energi dan ketahanan energi. "Tanpa temuan gas yang baru akan jadi importir pasca 2038. Geng north sekitar 3 BCF. Membutuhkan 9 temuan Geng North. apalagi jika IDD - Masela tidak jalan-jalan akan lebih cepat lagi (impor)," kata Mangesh.
SELESAI