Asosiasi Keberatan Pajak Wilayah Eksplorasi
NUSA DUA - Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan fiskal pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi.
Pengenaan pajak tersebut dinilai tidak sejalan dengan keinginan pemerintah menggiatkan aktivitas ekplorasi di Tanah Air. “Pemerintah perlu meninjau kembali PBB di kegiatan eksplorasi. Hal ini untuk meningkatkan iklim investasi dan situasi yang kondusif untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif lagi, terutama ekplorasi di lepas pantai dan frontier area,” kata Presiden IPA Lukman Mahfoedz dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
Perhitungan dan pengenaan PBB tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010. Peraturan itu menyatakan perusahaan-perusahaan migas harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. Itu memberatkan mengingat ukuran dan besaran blok eksplorasi mencapai ribuan kilometer persegi.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), lanjut Lukman, akhir Juni 2013 lalu mengeluarkan tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 mencapai total sebesar Rp2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok eksplorasi lepas pantai. Besaran PBB berkisar antara Rp40 miliar hingga Rp190 miliar per blok. Jumlah ini bahkan melebihi anggaran kegiatan ekplorasi di blok itu sendiri. “Sulit bagi pengusaha migas membayar PBB tersebut, padahal eksplorasi belum tentu berhasil. Kemudian, kalaupun berhasil, area yang dimanfaatkan juga hanya sebagian kecil dari wilayah tersebut,” jelasnya.
Dia mengingatkan, kegiatan eksplorasi merupakan tahap awal dari rangkaian panjang produksi migas dengan risiko yang sepenuhnya ditanggung kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Untuk menggambarkan besarnya risiko, Lukman mengatakan bahwa ada sekitar 12 perusahaan yang tidak berhasil menemukan cadangan migas ekonomis untuk eksplorasi offshore deepwater selama kurun waktu 2009-2012.
Sementara, dana yang telah dikeluarkan untuk kegiatan itu mencapai USD2 miliar atau setara dengan Rp20 triliun. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edy Hermantoro mengatakan pihaknya sudah melayangkan surat ke Ditjen Pajak. Edy berharap Ditjen Pajak tidak membebankan tagihan PBB kepada perusahaan migas selama masa eksplorasi.
“Usulan evaluasi itu sudah kami sampaikan,” ujarnya seusai forum bisnis ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) ke-31, di Nusa Dua, Bali, kemarin.