Beleid Cost Recovery Akan Pangkas Produksi Minyak
Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) menilai beleid cost recovery berpotensi menggerus produksi minyak. "Tak hanya penurunan produksi, aturan itu juga diprediksi mengurangi minat investor asing menanamkan modalnya," kata Presiden IPA Ron Aston di Jakarta pada akhir pekan lalu.
Menurut Aston, hal tersebut tidak akan menguntungkan pemerintah. Sebab, dengan pertumbuhan ekonomi yang pada kuartal pertama tahun ini mencapai 6,5 persen, Indonesia membutuhkan investasi hingga tiga kali lipat dalam memenuhi kebutuhan energinya pada masa mendatang.
Para pengusaha minyak dan gas bumi serta kalangan pemerintah gencar membahas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasional yang Dapat Dikembalikan--atau cost recovery--dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Sektor Hulu Migas.
Aturan itu dinilai mengubah prinsip dalam kontrak kerja sama secara sepihak sehingga memunculkan ketidakpastian bagi kontrak kerja sama minyak di masa depan. Ini berdampak pada penurunan investasi migas 20 persen dan penurunan produksi 150 ribu barel setara minyak per hari.
Wakil Presiden IPA Sammy Hamzah menyebutkan bahwa penurunan itu terjadi lantaran, dengan dibatasinya pergantian biaya produksi, maka upaya kontraktor dalam memproduksi minyak tak maksimal. "Pemberlakuan PP pasti membuat cost recovery turun, tapi produksi minyak juga turun," ujarnya.
Saat ini saja para kontraktor migas, kata Sammy, harus berjuang mati-matian untuk menjaga produksi agar tidak terlalu anjlok dari angka yang ditetapkan pemerintah. Padahal, untuk menjaga jumlah produksi, kontraktor harus mampu mengatasi penurunan produksi alamiah 12-15 persen saban tahun.
Melalui kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, IPA mengajukan uji materi terhadap aturan cost recovery kepada Mahkamah Agung pada 16 Juni lalu. Mulya Lubis menjelaskan, setidaknya ada 23 item yang diminta ditinjau kembali karena bertentangan dengan peraturan perundangan lebih tinggi, seperti Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Herawati Legowo menyatakan, sebagai solusi, pemerintah menyiapkan aturan teknis yang lebih terperinci soal pergantian biaya produksi. Peraturan itu diharapkan mampu menjawab kekhawatiran kontraktor migas.