Bagi Hasil Migas Kontraktor Diusulkan Setelah Produksi
Pemerintah mengusulkan skema bagi hasil (split) minyak dan gas bumi antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama ditentukan setelah kontraktor memproduksi minyak dan gas bumi. Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan usulan tersebut ditujukan agar split antara pemerintah dan kontraktor lebih nyata, karena diputuskan setelah mengetahui realisasi produksi, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dari penentuan bagi hasil tersebut.
Menurut Widjajono, jika hasil produksi migas oleh kontraktor kontrak bagus dan tinggi, bagi hasil untuk pemerintah akan wajar apabila juga tinggi. Sebaliknya, jika hasil produksi kontraktor rendah dan split sudah ditentukan tinggi, tidak adil.
“Mekanisme ini telah direalisasikan di Malaysia dan terbukti meningkatkan minat investasi di sektor hulu migas di negara tersebut. Kita bisa belajar dari mereka,” kata Widjajono, Jumat.
Saat ini tercatat 265 kontraktor kontrak kerja sama di sektor migas serta gas metana batu bara (coal bed methane). Sebanyak 69 kontraktor kontrak produksi, sisanya sebanyak 196 merupakan kontraktor eksplorasi. Namun, banyaknya kontraktor produksi belum berpengaruh signifikan terhadap produksi, khususnya minyak nasional. Dari proyeksi produksi minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 sebesar 945 ribu barel per hari, hingga 12 Oktober tercatat rata-rata 905 ribu barel per hari. Sedangkan produksi gas mencapai 8.496 juta kaki kubik per hari, melewati target dalam Anggaran Perubahan sebesar 7.769 juta kaki kubik per hari.
Widjajono menjelaskan kontrak bagi hasil adalah bagi produksi. Bagi hasil yang standar untuk minyak adalah 85:15 dan gas 70:30, kendati pada beberapa kontrak ada yang berpola 60:40. “Pemerintah mendapat bagi hasil lebih besar daripada kontraktor,” ujarnya.
Sulit Diterapkan
Sammy Hamzah, Vice President Indonesia Petroleum Association, menilai penentuan split setelah produksi kemungkinan hanya bisa diterapkan pada kondisi lapangan migas yang memiliki tingkat kesulitan dan risiko rendah. Untuk lapangan migas dengan tingkat resiko tinggi, Asosiasi meminta kebijakan tersebut tidak diterapkan karena tidak akan menarik minat investor.
"Jika ini dilakukan di lapangan migas yang berisiko tinggi, investor malah akan merasa ragu karena dia tidak mendapat kepastian dan kejelasan bagi hasil di awal. Kalau sudah ditentukan di awal, berarti kan setidaknya sudah ada kejelasan insentif bagi kontraktor," ujar Sammy, yang juga Direktur Utama PT Energi Pasir Hitam Indonesia.
Menurut Sammy, sistem bagi hasil setelah produksi lebih cocok bagi lapangan migas yang sudah jelas potensi cadangannya, sehingga sudah pasti memiliki keuntungan dan tidak berisiko tinggi. Asosiasi hanya meminta revisi klausul kontrak kerja sama (production sharing contract) secara keseluruhan diesesuaikan dengan kondisi lapangan.
"Dengan demikian, bukan split saja yang mesti diatur, tapi lebih pada klausul kontrak secara keseluruhan. Kami juga menyarankan lapangan migas yang sulit, seperti di Indonesia Timur, diberikan insentif," ujarnya.
Firlie Ganinduto, Direktur PT Benakat Petroleum Energy Tbk (BIPI), mengaku bingung dengan usulan pemerintah dalam penerapan skema bagi hasil tersebut. Jika penentuan split dilakukan setelah produksi, kontraktor harus berspekulasi di awal. Padahal dari sisi perencanaan, kontraktor harus memprediksi potensi pendapatan ke depan.
"Usulan itu tidak akan menarik karena sama saja kami membeli ayam dalam karung. Bagaimana kami bisa melakukan investasi tanpa mengetahui potensi pendapatan kami?" ujarnya.
Lukman Mahfoedz, Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), menilai usulan Wakil Menteri Energi itu ideal tapi sulit direalisasikan. Dia tidak bersedia merinci kendala penerapan aturan split tersebut. “Saya berpendapat ini adalah ideal, tapi mungkin agak sulit dilaksanakan. Lebih baik ditanyakan ke Direktur Jenderal Migas saja,” ujar dia.
Satya W Yudha, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan Dewan telah menerima banyak masukan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi soal pola bagi hasil migas. Ada dua skema pola bagi hasil yang mengemuka, yaitu sliding scale dan gross revenue sharing atau gross revenue split.
Pada slding scale, kontraktor minyak dan gas bumi akan memperoleh persentase bagi hasil lebih tinggi apabila tingkat produksi lebih besar di atas standar. Persentase bagi hasil kontraktor akan berbeda saat memproduksi 50 ribu barel dan saat kontraktor memproduksi minyak 100 ribu barel per hari atau 200 ribu barel per hari. Sedangkan pada gross revenue sharing, pemerintah menerima utuh produksi minyak sebelum dipotong biaya produksi yang dibebankan kepada negara (cost recovery).
Evita Herawati Legowo, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi, menjelaskan pemerintah terbuka atas berbagai masukan untuk revisi UU Minyak dan Gas Bumi, termasuk perubahan pola kontrak migas. Apapun mekanisme kontrak yang dipilih, opsi tersebut harus sesuai dengan tiga syarat seperti tertuang dalam UU Minyak dan Gas Bumi, yaitu manajemen di tangan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, seluruh biaya ditanggung investor, serta minyak dan gas bumi tetap milik negara sampai dengan custody transfer point.