IPA Mengusulkan Lembaga Arbitrer Untuk Menyelesaikan Ketidaksepakatan Mengenai Cost Recovery
The Indonesian Petroleum Association (IPA), sebuah asosiasi perusahaan-perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia, menyarankan kepada DPR untuk membentuk sebuah lembaga arbitrasi untuk menyelesaikan ketidaksepakatan akan cost recovery antara produsen minyak dan gas dengan BPMigas.
Cost recovery adalah suatu skema yang memungkinkan kontraktor minyak dan gas untuk mengklaim pengeluaran investasi mereka setelah proyek migas memasuki tahap produksi. Mekanisme ini merupakan ciri khas dari kontrak bagi hasil rancangan Indonesia (PSC).
Direktur Eksekutif IPA, Dipnala Tamzil mengatakan pada hari Rabu di Jakarta bahwa ketidaksepakatan dalam perhitungan cost recovery kadang-kadang terjadi antara BPMigas dan kontraktor.
"Yang terjadi sekarang adalah keputusan BPMigas akan cost recovery adalah final. Kadang-kadang kita setuju dengan itu, tapi di saat lain kita tidak. Kami beranggapan bahwa lembaga arbitrasi akan mampu menyelesaikan perbedaan tersebut, "kata Dipnala saat rapat dengar pendapat tentang revisi UU minyak dan gas dengan DPR.
Dipnala mengatakan bahwa lembaga arbitrasi ini tidak harus lembaga arbitrasi international. Tapi bisa juga lembaga lokal selama bentuknya independen," katanya.
Dia menambahkan bahwa, tanpa lembaga arbitrasi, klaim Cost Rocovery akan backlogged di BPMigas untuk periode yang lama, sehingga dapat menyulitkan semua pihak".
Kepala BPMigas R. Priyono mengakui bahwa BPMigas dan kontraktor sering memiliki hasil yang berbeda saat menghitung biaya cost recovery. "Perbedaan dalam perhitungan cost recovery sering terjadi, karena kita ditugaskan oleh pemerintah untuk memastikan bahwa semua operasi berjalan lancar, efisien dan mengikuti semua peraturan," kata Priyono.
Ia menolak memberikan komentar terhadap usulan untuk pembentukan lembaga arbitrasi.
Anggota DPR Komisi VII yang mengawasi energi dan sumber daya mineral kemarin mengadakan rapat dengar pendapat untuk merevisi UU Migas tahun 2001. Revisi tersebut diamanatkan oleh tim penyelidik DPR pada bulan September tahun lalu. Tim penyelidik dibentuk pada bulan Juni 2008 untuk menanggapi kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya mengatakan bahwa rekomendasi tim penyelidik tersebut meminta Komisi VII untuk merevisi UU dalam jangka waktu satu tahun setelah dikeluarkan. Namun, ia menambahkan, dengan kemajuan saat ini, proses revisi mungkin akan berlangsung lebih lama.
IPA mengatakan bahwa IPA tidak mendukung ataupun menentang revisi UU Migas dan menambahkan bahwa sebaiknya revisi dilakukan tanpa adanya perubahan besar.
"UU saat ini cukup kondusif bagi industri. Kami percaya bahwa hanya diperlukan perubahan sederhana pada UU yang ada, "kata Presiden IPA Ron Aston.
Analis Energi dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto merekomendasikan untuk menghilangkan BPMigas dari posisinya sebagai regulator hulu pada revisi UU Migas tersebut.