Cadangan MInyak Indonesia Turun 2,6%
Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) memperkirakan cadangan minyak Indonesia hingga akhir tahun ini mencapai 7,56 miliar barel atau turun 2,6% dari cadangan minyak yang tercatat pada akhir 2010 sebesar 7,76 miliar barel. Gde Pradnyana, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BPMIGAS, mengatakan produksi minyak tahunan yang lebih besar dibanding penemuan cadangan minyak baru menyebabkan menurunnya cadangan.
Saat ini rata-rata pengurasan cadangan minyak nasional sekitar 350 juta barel per tahun, sementara rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi (reserves replacement ratio) hanya sebesar 41%. Padahal idealnya angka reserves replacement ratio diatas 100% agar setiap satu barel minyak yang diproduksi dapat diimbangi dengan penemuan cadangan dari kegiatan eksplorasi yang hasilnya lebih dari 1 barel.
“Sampai saat ini belum adalagi penambahan cadangan minyak baru yang berjumlah besar. Penemuan-penemuan cadangan baru umumnya adalah cadangan gas,” ujar Pradnyana, Selasa.
Menurut Pradnyana, angka 7,56 miliar barel tersebut merupakan kombinasi dari cadangan proven (P1) yang angkanya kira-kira separuhnya dan cadangan possible (P2).
“Yang perlu dilakukan saat ini adalah mengugah cadangan minyak P2 tersebut menjadi P1 dengan cara melakukan survey dan pengeboran tambahan,” kata dia.
Haposan Napitupulu, Deputi Perencanaan BPMIGAS, sebelumnya menjelaskan pihaknya akan meningkatkan biaya eksplorasi blok migas sekitar 4%-5% dari biaya modal seluruh kontraktor menjadi 9%-10% dari total biaya modal. Peningkatan alokasi biaya eksplorasi blok migas itu untuk meningkatkan temuan cadangan migas di tanah air.
Tahun ini dana yang dialokasikan untuk kegiatan eksplorasi di wilayah kerja eksplorasi sebesar US$ 1,3 miliar. Sedangkan eksplorasi yang dilakukan di blok produksi sekitar US$ 3,2 miliar.
Widjajono Partowidagdo, wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menjelaskan penurunan cadangan minyak nasional tersebut disebabkan kondisi iklim investasi yang tidak bagus. Banyak sekali masalah yang menghambat investor untuk mempercepat kegiatan eksplorasi yang dilakukannya seperti masalah perizinan, masalah kehutanan, adanya pungutan daerah serta pengenaan pajak pada masa eksplorasi. “Padahal dengan tingkat produksi saat ini dan tanpa penemuan cadangan baru, cadangan minyak kita akan cepat habis,” jelasnya kepada IFT.
Untuk memperbaiki iklim investasi tersebut, lanjut Widjajono, diperlukan koordinasi antara Kementerian Energi dan sejumlah kementerian lainnya seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
“Selain itu sistem fiskal juga harus diperbaiki untuk menarik minat investor,” jelasnya.
Sammy Hamzah, Vice President Indonesian Petroleum Association, menyatakan persoalan industri hulu migas bukan di kegiatan produksi, tapi rasio penemuan cadangan baru yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat produksi minyak.
“Saat ini reserves replacement ratio kita dibawah 1, artinya lebih banyak produksi dibandingkan penemuan baru. Yang sehat itu penemuan lebih besar dari produksi, atau minimal setara,” jelasnya.
Asosiasi menyarankan agar pemerintah mencari jalan untuk menggerakkan investasi di kegiatan eksplorasi dengan memberikan kepastian hukum bagi para investor. “Di sektor hulu migas, resiko terbesar yang harus ditanggung investor adalah pada saat melakukan kegiatan eksplorasi, oleh karena itu kepastian hukum perlu diberikan”, katanya.