IPA: Ketidakpastian Regulasi Masih Membayangi Industri Migas
Indonesian Petroleum Association (IPA) mengumumkan bahwa lambatnya investasi yang disebabkan oleh kebijakan fiskal yang kurang menarik dan ketidakpastian regulasi membayangi sektor hulu Migas Indonesia tahun ini.
President IPA Jim Taylor, dari perusahaan Amerika ConocoPhillips, menekankan pentingnya Indonesia memperbaiki iklim investasi di sektor tersebut untuk menjadi lebih kompetitif dalam menarik lebih banyak kegiatan investasi, terutama kegiatan eksplorasi pada beberapa tahun mendatang.
“Untuk mengamankan pasokan energi di masa depan bagi Indonesia, perlu upaya yang agresif dengan investasi baru dalam jumlah sangat besar dan regulasi yang mendukung,” kata Jim dalam sebuah Konferensi Pers, Rabu, di Jakarta.
Untuk memberikan lingkungan ekonomi yang kondusif kepada investor dan calon investor, IPA menggarisbawahi beberapa isu utama yang perlu ditangani.
Mengenai Peraturan Pemerintah 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan pajak pendapatan di sektor Hulu Migas yang ditakutkan akan menciptakan ketidakpastian terhadap status kontrak kerjasama (KKS), Asosiasi mengklaim bahwa mereka sangat kecewa dengan keputusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan judicial review yang diajukan pada tanggal 18 Oktober.
“Dasar dari penolakan tersebut masih belum dapat diketahui. IPA akan terus berdialog dengan pemerintah untuk memastikan pelaksanaan peraturan tersebut akan menghormati kesucian kontrak yang ada,” kata Sammy Hamzah, Vice President IPA.
Menurut Asosiasi, isu lain yang perlu ditangani adalah harga gas. IPA merekomendasikan agar harga gas di Negara ini ditentukan berdasarkan harga pasar untuk memberikan motivasi kepada kontraktor dalam meningkatkan produksi. Asosiasi yakin kebijakan tersebut akan memberikan manfaat bagi pelanggan, dimana mereka akan menerima pasokan gas yang lebih bisa diandalkan.
Walaupun memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekitar 6.5% tahun ini, investasi eksplorasi yang diperlukan untuk menemukan cadangan minyak dan gas yang baru dan meningkatkan produksi telah mengalami penurunan sejak beberapa tahun terakhir, tambah dia.
Menurut, Tim Pengawas Peningkatan Produksi Migas (TP3M), dalam 11 bulan pertama di tahun 2011, hanya 33% atau 58 sumur eksplorasi dari total 176 sumur telah dibor oleh kontraktor migas.
“Tanpa ada tambahan investasi yang signifikan, kegiatan eksplorasi akan terus menurun dan produksi migas Indonesia tidak akan memberikan nilai tambah atau manfaat kepada Negara dan masyarakatnya,” kata Taylor.
Dalam kurun tiga tahun terakhir, investasi di sektor hulu minyak dan gas relatif stagnan, berkisar antara US$10 miliar dan US$12 milliar. Data yang dimiliki Badan Pengawas Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi BPMIGAS menunjukkan investasi menurun menjadi US$10,42 miliar di tahun 2009 setelah meraih US$12,09 miliar di tahun 2008. Tahun lalu, angka tersebut meningkat sedikit ke US$11,03 miliar, dan diperkirakan mencapai sekitar US$12 miliar dan US$13 miliar tahun ini.
Proses perpanjangan kontrak kerjasama (KKS) adalah hal ketiga yang menjadi kekhawatiran IPA. Di masa datang, IPA berharap proses perpanjangan akan dilakukan dengan lebih cepat dan transparan, untuk menyediakan jangka waktu yang lebih lama bagi para kontraktor kontrak kerjasama untuk merencanakan dan mengembangkan lapangan minyak dan gas, terutama proyek yang berhubungan dengan gas.