Unconventional Gas Masih Menunggu Kejelasan Regulasi
Jakarta – TAMBANG. Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Ron Aston memastikan, lebih dari 150 perusahaan lokal maupun internasional, akan turut meramaikan Konvensi dan Pameran Industri Minyak dan Gas IPA ke-35, pada 18-20 Mei 2011 di Jakarta.
Dalam forum itu akan dibahas berbagai persoalan seputar peningkatan produksi migas Indonesia, untuk selanjutnya disampaikan kepada pemerintah sebagai rekomendasi. Termasuk diantaranya tentang pemanfaatan unconventional gas, yang hingga kini masih menunggu kejelasan regulasi.
Demikian diungkapkan Ron Aston, yang didampingi dua Wakil Presiden IPA, Sammy Hamzah dan Jim Taylor, Direktur Eksekutif IPA Dipnala Tamzil, serta Ketua Konvensi dan Pameran Industri Minyak dan Gas IPA ke-35, Vincent Soetedja, dalam temu wartawan di Jakarta, Rabu, 27 April 2011.
Ron menuturkan, Konvensi dan Pameran IPA kali ini mengangkat tema “Indonesia Energy: Growth, Security, and Sustainability” dan akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kami yakin tema yang diusung ini sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia saat ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan membutuhkan banyak suplai energi. Namun harus diakui, ladang minyak dan gas (migas) yang ada sudah tua, dan itu menuntut eksplorasi pada ladang-ladang baru.
Tantangannya, ladang-ladang baru itu berada di wilayah frontier (perbatasan, red). Meski cadangannya melimpah, namun belum banyak terbukti. Pada saat yang sama, diketahui Nusantara juga menyimpan kekayaan unconventional gas, seperti coal bed methane (CBM) dan cell gas, yang menuntut eksplorasi.
“Kondisi ini membuka kesempatan yang luas untuk investasi pada industri migas Indonesia,” kata Ron. Maka dari itu, lewat Konvensi dan Pameran Industri Industri Migas ini, IPA berusaha turut mempromosikan peluang investasi pada industri migas di Indonesia, termasuk untuk ladang-ladang migas di kawasan timur.
Di dalamnya akan digelar berbagai dialog, antara pemerintah, investor, dan pemangku kepentingan lainnya, guna memformulasikan solusi-solusi untuk menghadapi tantangan industri migas nasional. Selain itu, dipamerkan pula berbagai teknologi terkini, dan peserta bisa saling bertukar pengalaman.
Untuk pengembangan unconventional gas, Jim Taylor mengatakan banyak anggota IPA yang memainkan peran pada industri energi alternatif itu. “Namun kami saat ini masih menunggu kejelasan regulasi dari pemerintah, aturan mainnya seperti apa?,” ungkapnya.
Sammy Hamzah menjelaskan, saat ini masih terdapat sejumlah persoalan terkait unconventional gas, yang belum ada regulasinya dan belum jelas aturan mainnya. Misalnya cell gas, sampai saat ini belum ada aturan tersendiri, dan belum jelas insentif apa yang akan diberikan pemerintah.
Juga CBM, meski sudah banyak investor yang masuk ke sana, namun untuk pengembangannya sendiri, IPA masih dalam diskusi dengan pemerintah. “Masih ada beberapa hal yang belum clear, sehingga diharapkan menemukan solusi dalam konvensi kali ini,” jelas Sammy.
Tak kalah pentingnya, lanjut Sammy, upaya pengembangan ladang-ladang migas di kawasan timur Indonesia. “Ini tentunya kita bicara soal pengeboran laut dalam, daerah terpencil, infrastruktur yang minim, biaya investasi yang lebih mahal, dan sebagainya”.
Contohnya, mengebor di Papua biayanya bisa mencapai 10 kali lipat, dibandingkan biaya mengebor di Sumatera atau Jawa. Di sinilah IPA berharap, pemerintah bisa memberikan insentif-insentif lain kepada investor, yang menanamkan modal di kawasan timur atau wilayah frontier yang lain.
Ia menambahkan, hasil dari berbagai dialog dan pembahasan dalam konvensi tersebut, akan dilaporkan ke pemerintah. “Dulu summary konvensi IPA kita sampaikan ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun sejak tahun lalu, kita sampaikan langsung ke Wakil Presiden,” ujarnya.