Langkah Cepat Indonesia Kejar Target Pengurangan Emisi Karbon

Indonesia telah menetapkan komitmen ambisius untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu strategi kunci yang dapat diandalkan adalah teknologi CCS/CCUS. Teknologi ini menawarkan solusi inovatif untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan sembari mendukung proses transisi energi. Melalui CCS/CCUS, emisi CO2 yang ditangkap disimpan dalam formasi geologi di bawah tanah untuk waktu yang sangat lama, atau digunakan kembali dalam proses produksi industri lainnya. Menurut roadmap dari International Energy Agency (IEA) untuk NZE tahun 2050 di sektor energi, teknologi CCS/CCUS akan berkontribusi lebih dari 10% dari total pengurangan emisi global pada 2050. Inovasi ini memainkan peran krusial dalam mendukung upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim. 

Kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon khususnya pada sektor hulu migas telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 2/2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Proyek CCS/CCUS yang termasuk dalam lingkup aturan ini di antaranya: Gemah, Ramba, Jatibarang, Sakakemang, Gundih, Sukowati, Abadi, Tangguh. Pada salah satu proyek perdana CCUS yang dijalankan Pertamina di Lapangan Jatibarang pada 2022, CO2 yang ditangkap kemudian diinjeksi ke dalam sumur minyak milik perusahaan. Hal itu ditujukan untuk mengurangi emisi karbon dan sekaligus meningkatkan produksi minyak. Proyek ini akan menjadi model awal untuk pengembangan proyek serupa di Indonesia. 

Dalam perkembangannya, Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden No 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini memperluas implementasi CCS/CCUS menjadi tidak hanya pada wilayah kerja migas saja, seperti aturan yang ada sebelumnya. Dengan demikian, CO2 yang ditangkap dari luar industri migas juga dapat diproses dalam operasi CCS/CCUS yang dilakukan oleh perusahaan migas dan sekaligus membuka peluang cross border serta peluang investasi di wilayah kerja migas. Hingga saat ini, terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang sedang dalam tahap awal pengembangan dan ditargetkan akan beroperasi pada 2026-2030 dengan kapasitas total penyimpanan mencapai 4,31 Gigaton CO2. Proyek Vorwata CCUS yang menjadi bagian dari rencana pengembangan untuk blok gas Tangguh di Papua ditargetkan akan beroperasi pada 2026. 

Mengapa CCS/CCUS Penting bagi Indonesia?

  1. Memiliki Potensi Penyimpanan yang Besar: Indonesia memiliki formasi geologis yang sangat cocok untuk menyimpan emisi karbon dalam jumlah besar. Bekas ladang migas yang telah diproduksikan menjadi lokasi potensial untuk menampung emisi karbon. Kementerian ESDM baru saja menerbitkan angka Potensi Penyimpanan Karbon Nasional Tahun 2024 sebesar 572 miliar ton CO2 pada saline aquifer, dan 4,85 miliar ton CO2 pada depleted oil and gas reservoir. Potensi penyimpanan yang sangat besar tersebut diyakini dapat mendukung secara signifikan target penurunan emisi dalam jangka panjang. 
  2. Meningkatkan Produksi Migas: Selain mengurangi emisi, CCS/CCUS juga dapat meningkatkan produksi minyak dengan cara menyuntikkan CO2 ke dalam reservoir minyak.
  3. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi: Pengembangan CCS/CCUS secara lebih lanjut diyakini dapat menciptakan lapangan kerja baru dan menarik investasi global. Selain itu, adanya peluang cross border CCS dari luar hulu migas juga membuka peluang investasi dengan skema kontrak kerja sama CCS di wilayah kerja migas.
  4. Memperkuat Posisi Indonesia dalam emisi karbon secara regional: Indonesia berpotensi menjadi pemimpin dalam rangka pengurangan emisi karbon secara regional di Asia Pacific terkait penerapan teknologi CCS/CCUS, serta berkontribusi pada upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.

Tantangan dan Peluang

Meskipun potensi CCS/CCUS sangat besar, namun penerapan teknologi ini juga dihadapkan pada beberapa tantangan yang ada, salah satunya tentang investasi yang sangat besar karena emisi yang akan diinjeksikan ke bawah tanah harus melalui proses treatment terlebih dulu. Biaya proses tersebut tergolong mahal, antara 35-60 dollar AS per ton CO2. Biaya pengoperasiaan CCS akan semakin mahal  jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah. Sementara dari sisi sumber daya manusia, perlu juga dipersiapkan SDM yang berkompetensi agar andal menerapkan teknologi tersebut. 

Di sisi lain, tantangan tersebut sekaligus membuka peluang bagi inovasi dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi. Berbagai pihak terkait juga diharapkan aktif melakukan penelitian dan pengembangan terhadap teknologi CCS/CCUS, termasuk pada kerangka bisnisnya. Salah satunya, seperti yang dilakukan Pertamina International Shipping bersama perusahaan pengapalan asal Jepang, Nippon Yusen Kaisha Group (NYK), untuk membangun armada dan infrastruktur pendukung CCS/CCUS. 

CCS/CCUS merupakan salah satu solusi yang menjanjikan untuk mencapai target NZE sekaligus membuka peluang bisnis menarik di era transisi energi. Hanya saja, dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak agar CCS/CCUS dapat berjalan sesuai yang ditargetkan, demi mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi generasi mendatang. (PS)

Previous PostCCS/CCUS, Jurus Andalan Industri Migas Mereduksi Karbon
Next PostMubadala Energy and Perusahaan Listrik Negara (PLN) Signed Collaboration Agreement to Explore Harnessing Natural Gas Discoveries