15 Pengusaha Migas Ancam Angkat Kaki
KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum lama ini mengaku telah mengirimkan suratke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Surat tersebut untuk menindaklanjuti keluhan pengusaha yang terbebani dengan tagihan PBB di wilayah eksplorasi. Kementerian ESDM mengajukan permohonan agar perusahaan migas tidak dibebani tagihan selama eksplorasi. Menanggapi surat Kementerian ESDM ini, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmani mengaku, tidak memiliki kewenangan memberikan keringanan pajak. “Kami memungut pajak hanya menjalankan perundang-undang dan tidak bisa melakukan evaluasi peraturan. Kami hanya pelaksana administrasi sesuai keputusan menteri,” cetus Fuad kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. Fuad menyarankan, agar para pengusaha menyampaikan tuntutan tersebut kepada Kementerian Keuangan. Menurut dia, pungutan yang dikenakan ke perusahaan migas saat ini sebenarnya sudah terbatas.
Alasannya, yang dikenakan hanya wilayah kegiatan pengeboran eksplorasi, bukan seluruh wilayah pertambangan. Namun demikian, dia menyerahkan kepada Kementerian berwenang melakukan penilaian, apakah pantas perusahaan migas mendapatkan keringanan atau tidak. “Pertimbangan investasi itu banyak versus. Itu biar di level kabinet yang memutuskan,” cetusnya. Presiden Indonesian Petroleum Associaton (IPA) Lukman Mahfoedz berharap, pemerintah bisa mengabulkan tuntutan pengusaha. “Kita sangat berharap pemerintah meninjau ulang aturan pajak tersebut. Ini tujuannya baik, untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif lagi, terutama eksplorasi di lepas pantai,” kata Lukman kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Lukman menilai, perhitungan PBB tidak sejalan dengan permintaan pemerintah agar pelaku migas menggiatkan eksplorasi.
Dikatakan, perhitungan pajak digunakan pemerintah mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasional Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan di bidang usaha hulu migas. Dalam aturan itu disebutkan, perusahaan migas harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai, walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. “Ukuran blok eksplorasi itu luas hingga ribuan kilometer persegi. Bahkan ada yang lebih luas dari pulau sekitar eksplorasi,” jelasnya. Atas perhitungan itu, ungkap Lukman, tagihan yang disampaikan ke perusahaan migas sangat besar. Misalnya, pada akhir Juni 2013, Ditjen Pajak mengeluarkan tagihan PBB tahun 2012 dan 2013 sebesar Rp 2,6 triliun.
Tagihan ini diberikan kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 Blok eksplorasi lepas pantai. Besaran PBB-nya berkisar Rp 40 miliar hingga Rp 190 miliar per Blok. Jumlah ini melebihi anggaran untuk kegiatan eksplorasi di Blok itu sendiri. “Sulit bagi pengusaha migas harus membayar PBB sebesar itu. Apalagi, eksplorasi belum tentu berhasil,” kata Lukman. Dia mengungkapkan, sepanjang 2009-2012, ada sekitar 12 perusahaan yang tidak berhasil menemukan cadangan migas secara ekonomis untuk eksplorasi offshore deep water. Dana yang telah dikeluarkan untuk eskplorasi itu sebesar 2 miliar dolar AS atau setara Rp 20 triliun. Ironisnya, risiko itu sepenuhnya ditanggung sendiri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sammy Hamzah mengatakan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan 15 pengusaha migas yang keberatan dengan tagihan pajak. Menurutnya, semua pelaku usaha itu sudah memutuskan akan mencabut izinnya pada tahun depan, bila tuntutan mereka tidak dikabulkan. “Kami sudah mendapatkan jawaban dari para pengusaha. Mereka mau hengkang dan mencabut izinnya pada 2014, paling cepat mungkin tahun ini,” jelas Sammy