Demi Kepentingan Strategis Nasional
Sekitar 29 dari 72 kontrak migas di Indonesia bakal habis masanya terhitung mulai 2013 hingga 2021. Selain PT Pertamina (persero), blok-blok yang akan habis kontraknya itu juga dikelola swasta nasional, maupun buah kerja sama Badan Usaha Milik Negara (BMN) dengan saudagar asing.
Menggema gagasan agar pengelolaan blok-blok migas yang jatuh tempo dialihkan ke tangan Pertamina sebagai perusahaan migas nasional. Sesuai amanat Undang-Undang No 22 Tabun 2001 tentang Migas, jika kontrak migas berakhir, maka pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN demi kepentingan strategis nasional.
Sejalan dengan itu, Pasal33 UUD 1945 mengamanatkan agar sumber daya alam harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU Migas menegaskan, pengelolaan migas harus berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak. Pertanyaannya, di manakah posisi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dalam hal ini?
Salah satu kasus yang masih hangat yakni terkait kontrak Total E&P dan Inpex di Blok Mahakam yang akan habis pada 2017. Baik Kepala BP Migas R Priyono, Wamen ESDM Rudi Rubiandini maupun Menteri ESDM Jero Wacik tampaknya lebih memilih untuk mendukung Total tetap menjadi operator Blok Mahakam, Perihal ini, tentu masih kita tunggu keputusan Menteri Jero.
Wakil Menteri Rudi tak mau ambil pusing menyikapi tuduhan-tuduhan semacam itu. Ia memastikan bahwa kehendak pemerintah sejatinya ialah ingin mempercayakan pengelolaan blok migas di Tanah Air kepada perusahaan nasional, termasuk untuk kasus Mahakam.
"Total pasti diputus kontraknya (diterminasi). Setelah itu semua kekayaan di Blok Mahakam jadi milik negara karena sudah dibayar dengan biaya cost recovery. Tapi itu bukan langsung jadi milik Pertamina, tapi negara. Kalau kita kehendaki, Pertamina akan kelola. Sebelumnya pemerintah akan keluarkan surat penghibahan kekayaan supaya jam milik BUMN itu. Kalau Pertamina mau, maka pemerintah akan mendahului Pertamina," jelasnya.
Blok lain yang kontraknya habis pada tahun ini, yaitu Blok Pase di Aceh. Berdasarkan Surat Keputusan Menten ESDM pada 10 Februari 2012 diketahui pemerintah menolak perpanjangan izin eksploitasi TPI, anak usaha Triangle Energy, karena belum terbentuknya BP Migas di Aceh. Untuk menjaga kelangsungan produksi gas dari Wilayah Kerja (WK) Pase, Kontraktor Kontrak Kerja Sama Triangle Global Inc (TPI), pengelola blok ini sebelumnya, dapat ditugaskan untuk mengelola sementara WK ini selama enam bulan terhitung sejak berakhirnya KKS Pase atau sampai ditetapkannya pengelola definitif.
"Seperti Blok Pase yang habis kontraknya sejak Februari 2012, supaya lapangannya tidak mati kami perintahkan kepada kontraktor lama atau bisa juga Pertamina untuk melanjutkan sebelum ada keputusan pengelola definitif. Kita ingin cepat diputuskan. Untuk Pase semoga tidak terlalu lama sudah keluar pengelola definitifnya," kata Wakil Menteri Rudi.
Kerap kali, yang menghambat penetapan pengelola definitif itu bukan masalah teknis melainkan terkait hal-hal strategis lain. Untuk kasus Pase, sementara teknis sudah oke namun, terganjal izm pemerintah daerah setempat serta keinginan untuk membentuk BP Migas Aceh.
Wakil Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah menilai, pemerintah terkadang tidak tegas menetapkan sebuah kontrak migas akan diperpanjang atau tidak. "Sebenarnya mau kontrak diperpanjang atau bagaimana? Berdasarkan regulasi, otomatis kalau kontrak habis, hak pengelolaannya jatuh ke tangan pemerintah dan jadi hak pemerintah memutuskannya. Apakah akan diserahkan lagi ke kontraktor lama atau ditender atau diberikan ke Pertamina," katanya.
Yang terjadi sekarang, menurut Sammy, pemerintah seolah tak punya hak vital untuk memutuskan kelanjutan kontrak migas yang ada. Alhasil, tampak seperti kontraktor memiliki hak khusus untuk melanjutkan usahanya. Padahal semestinya pengelolaan blok bersangkutan tak harus diserahkan kembali kepada kontraktor terdahulu. Syaratnya, pemerintah harus menetapkan dengan seksama kondisi di lapangan.
"Apakah perusahaan migas nasional RI mampu untuk mengelolanya sendirian, atau ternyata pengelolaannya tetap membutuhkan teknologi canggih sehingga tetap membutuhkan bantuan dari investor luar," katanya.
Sammy mengingatkan, bagaimanapun pemerintah tetap harus berhati-hati untuk memutuskan diperpanjang atau tidaknya kontrak migas. Harus dilihat bagaimana prospek jangka panjang blok migas terkait, yakni apakah produksinya semakin menurun terlebih belum ada teknologi yang memadai di dalam negeri untuk melakukan ekplorasi baru di wilayah blok itu atau tidak.
"Otomatis kalau ternyata jangka panjangnya produksi di lapangan itu terus menurun sama saja pemerintah mendapat lapangan yang sudah rongsokan," ucapnya.
Menurut Sammy, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan mengenai blok migas yang kontraknya segera habis yaitu faktor penguasaan teknologi oleh BUMN, besar kecilnya investasi, serta pengaruhnya terhadap produksi migas nasional.