GR Cost Recovery Bertentangan Dengan UU
JAKARTA: Meski pemerintah segera menyiapkan aturan pelaksana Peraturan Pemerintah No.79/2010 tentang Cost Recovery, namun GR tersebut tetap tidak bisa dijalankan karena pada dasarnya sudah bertentangan dengan undang-undang. Kuasa Hukum Indonesian Petroleum Association (IPA) Todung Mulya Lubis mengatakan pada dasarnya tidak boleh ada peraturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya.
Menurutnya, jika ada aturan pelaksana pun tetap tidak bisa dilakukan perbaikan atas GR tersebut karena sudah menyimpang dengan aturan di atasnya.
"GR 79 banyak konflik dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni bertentangan dengan UU Migas, UU Pajak Penghasilan, KUHP dan UU No.10/2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," ujarnya hari ini.
Mulya mengatakan atas dasar ituh IPA mengajukan judicial review terhadap GR No.79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau biasa disebut GR Cost Recovery.
Demi konsistensi perundangan, maka judicial review terpaksa harus dilakukan dan menjadi satu-satunya pilihan. "Kami sudah file-kan berkasnya ke Mahkamah Agung pada 16 Juni 2011 lalu. Ada 22 item [dalam 20 pasal] yang kami minta supaya Mahkamah Agung menggelar review. Prosesnya tergantung, bisa 2 bulan, bisa 6 bulan," ujarnya.
Menurut dia, nanti IPA pasti dihadapkan pada proses dimana pemerintah punya hak untuk memberikan tanggapan terhadap judicial review ini. Jika pemerintah dapat melihat urgensi dan dampak dari GR ini dan segera merespon, MA bisa memberikan prioritas untuk segera memproses berkas-berkasnya.
Dalam GR tersebut, IPA meminta MA review khususnya pasal 38b yang bertuliskan, hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama seperti besaran bagian penerimaan negara, biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dan enam hal lainnya, dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan wajib menyesuaikan dengan GR ini.
Menurut Todung, memang dalam pasal 38a pemerintah mengakui kesucian kontrak. Namun pada 38b itu mewajibkan adjustment dan ini secara principal bisa menegasikan pasal 38a dan kesucian kontrak itu sendiri.
"Kontrak bukannya tidak bisa diubah, bisa. Tapi kontrak hanya bisa diubah dengan persetujuan kedua belah pihak. Pasal 38b akan mengubah terms dan bagi hasil dari PSC," ujarnya.
Vice President IPA Sammy Hamzah mengatakan hingga hari ini pun pihaknya masih terus berkomunikasi baik dengan Kementerian ESDM maupun BP Migas untuk mencari jalan tengah dari masalah ini.
Namun dia juga memahami bahwa Kementerian ESDM tidak bisa memutuskan sendiri hal ini karena GR Cost Recovery berkaitan juga dengan penerimaan migas, yang menjadi andil Kementerian Keuangan.
"Kami memahami yang menentukan GR ini bukan hanya Kementerian ESDM tapi juga Kementerian Keuangan karena berkaitan erat dengan fiskal dan APBN. Jadi kemungkinan besar ini masih dibincangkan antar instansi pemerintah," ujarnya.
IPA sebelumnya memperkirakan implementasi GR No.79/2010 tentang Cost Recovery bisa mengurangi investasi di sektor migas hingga 20% dan bisa membuat produksi migas justru berkurang hingga 150.000 barel setara minyak per hari (boepd).(mmh)